Cara Memilih Kamera yang Bagus menurut Baudrillard

Sering kita dengar atau baca di media daring, "Bagusan mana mas kanon nikong panasunik atau soni kalo buat maen video?", "Vid...

Sering kita dengar atau baca di media daring, "Bagusan mana mas kanon nikong panasunik atau soni kalo buat maen video?", "Video editor yang paling bagus Peremierpero atau finalkat?", "Mending pakai Mek atau Windos ya kalo buat edit kerjaan?" dan sebagainya, dan sebagainya.

Bagi orang yang sudah berkecimpung cukup lama (ukuran dari lama disini adalah karena saya sudah mulai bosan, titik) di dunia kapitalisasi (mencari uang melalui..) media rekam seperti saya, kiranya sudah tidak mau ambil pusing soalan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas. Bukan bermaksud menyepelekan, atau menganggap bahwa itu adalah pertanyaan 'pemula' atau 'nyubi' namun lebih mengharap bahwa ada orang lain yang lebih mampu menjawab dengan cara yang lebih bijak, bukan pragmatik seperti saya (takutnya berakibat menghancurkan mimpi indah mereka).

Toh, saya juga pernah mengalami fase dimana merk atau brand tertentu digunakan sebagai petanda simbolik pada tubuh sebagai representasi identitas yang ingin saya tunjukkan kepada orang, secara polos, bukan secara pragmatis seperti sekarang. Toh, jujur aja kalau saya juga pernah tanya ke orang, "Bagusan mana mas Nikong sama Kanon?"

Saya mengambil sudut pandang Baudrillard sebagai cara saya menginterpretasikan fenomena "Bagusan mana mas?.." tersebut karena sesungguhnya di era yang tengah dibanjiri oleh informasi ini, kemampuan nalar mendasar yang harusnya cenderung kritis dan pragmatik lantas terpelintir oleh "logika" lain semacam; keren, berkelas, berseni, spek dewa, biar sama-sama jago seperti si A si B atau si C, dan sebagainya akibat interpretasi kita terhadap suatu brand identity daripada semata-mata melihat "spesifikasi teknis dibandingkan kebutuhan" sebuah produk media rekam. (meskipun sesungguhnya, secara teknis fungsi yang dimiliki hampir memiliki kesamaan).

Dalam artikel ini, saya akan menyebut kamera sebagai media rekam, karena saya mencoba tidak membatasi antara kamera foto ato video atau kamera handphone bahkan kamera CCTV. apapun yang bisa merekam, memiliki potensi yang sama untuk menciptakan sebuah karya atau data, baik analog maupun digital, baik audial, visual, maupun audiovisual. (Karena, pengkotak-kotakan yang selama ini diciptakan sendiri oleh profesional, alih-alih mendidik, yang menurut saya malah lebih cenderung kepada pembentengan diri atau menciptakan eksklusifitas dari para amatir, agar bisa mempertahakan harga jual) sesungguhnya bisa menyesatkan, kalau-kalau tidak dibarengi kesadaran akan adanya fenomena ini, kemudian memilih untuk diam memaklumkannya atau menentangnya (setikdaknya mengritiknya seperti saya).

Mengambil tulisan Randyka A Wijaya di blognya Paradekata;
"Masyarakat kapitalisme akhir dalam mengonsumsi suatu barang atau jasa tidak lagi hanya berdasarkan nilai guna semata, namun juga berdasarkan nilai tanda. Eksistensi seseorang dilihat berdasarkan pembedaan komoditas yang dikonsumsinya. Terdapat sistem tanda dan status sosial dibalik komoditas yang dikonsumsi oleh seseorang. Selain itu, manusia mempunyai kecenderungan dalam mengonsumsi suatu komoditas lebih memilih merek tertentu dibandingkan dengan merek yang lain meskipun, komoditas tersebut mempunyai nilai guna yang relatif sama. Peran media massa melalui program iklannya juga turut memberi pengaruh dalam membujuk masyarakat agar mengonsumsi suatu komoditas tertentu. Korporasi yang bekerjasama dengan media massa menentukan bagaimana tren konsumsi yang berkembang di masyarakat dan membuat standar-standar tertentu. Melalui mengonsumsi suatu tanda seseorang dapat dikategorikan dalam suatu status ataupun kelas sosial tertentu."

Teori ini sudah jelas berhasil dimanfaatkan si kondang; Leika_entah sengaja atau tidak_melakukan overpricing (menurut saya) pada kelompok sosial yang mengamininya dan mampu membelinya. Tidak melulu pada fungsi, atau sekedar logika pragmatik ala tukang foto. Pengkategorian kelas sosial khususnya secara ekonomi dalam masyarakat secara tidak langsung menciptakan produk yang sengaja dibentuk agar tersegmentasi secara sosial (yang memang secara sengaja diciptakan oleh kaum kapitalis agar menimbulkan dampak lebih daripada sekedar laku banyak). Dan sayangnya, sadar atau tidak sadar, kita semua tengah berada pada arus besar ini bukan?

Baudrillard (1970) dalam The Consumer Society; Myths and Structures menyatakan bahwa tubuh adalah objek konsumsi yang terbaik. Tubuh dalam hal ini bukan hanya mengacu pada tubuh sebagai entitas biologis semata namun juga mencakup gaya berpakaian, cara berdandan dan cara membersihkan tubuh (bahkan mungkin cara ngupil, cara masang lensa kamera, cara menenteng tas ransel, cara mengcopy file, dsb dsb tak terbatas). Tubuh adalah pusat dari konstruksi individu dan identitas suatu kelompok dalam produksi tatanan sosial dan bla bla... panjang deh kalo dijelaskan. Yang intinya; nalar kita masih sangat terikat oleh budaya pengagungan tubuh, Jadinya, kita tidak lagi berpegang pada logika pragmatik, melainkan pada faktor lain yang terbentuk dari pembentukan seuatu brand identity dari produk media rekam tertentu, yang kemudian kita anggap mampu mendefinisikan diri kita.

Dalam kajian sosiologi budaya tubuh adalah kunci dalam memberikan informasi terkait dengan ras, etnisitas, gender, serta isu seperti subculture style, musik dan lain-lain. Termasuk sistem simbol dalam konstruksi tatanan sosial dan makna, serta obyek dimana diri dibentuk dan diakui oleh orang lain. Jadi jika dipakai untuk menterjemahkan permasalahan "mas bagusan mana?" ini, bisa saya simpulkan bahwa terkadang kita tidak berpikir logis dan prakgmatis atau mati logika ketika mulai memasuki industri "mencari uang memanfaatkan media rekam" saat ini.

Tatanan sosial para petukang dokumentasi harusnya memiliki budaya yang lebih dari itu. Memaknai proses dokumentasi bukan secara sakral, namun lebih secara serius, all out (sebagaimana kita dalam menjalani hidup kita yang sekali ini, do the best in everything). Tidak sekedar memajang gear tanpa tahu spesifikasi yang dimiliki, upgrade gear baru karena ikut ikutan idola, memakai efek transisi tanpa konteks yang semestinya, membawa kamera keren, ikut hunting foto mbak-mbak seksi, atau bertanya di grup "bagusan mana mas nikong atau kanon?".

Lagi, para tetua media rekam pastinya mawas diri dan memaklumi, bahwa ada kalanya dulu setiap dari mereka juga mengalami fase dimana semangat dan nafsu birahi lebih besar daripada pengetahuan dalam berfoto atau videografi. Terlebih ketika awal mulai memasuki dunia media rekam ini. Mengasyikkan (pada awalnya).

Tahu tidak kalau sistem kompresi rekam yang dimiliki soni dan nikong berbeda? Kenapa dibutuhkan kodek untuk membuka file tertentu dalam NLE? kalao pake sistem dari merk ini konsekuensinya di pascaproduksi apa? Berapa space harddisk yang dibutuhkan kalau dalam setahun kita  menghabiskan 36 project kawinan? Berapa persen pengeluaran yang bisa dihemat kemudian jika berganti sistem ini? Apakah banyak freelance yang mampu? dsb dsb...

Paling tidak, setiap harus mulai berusaha lebih mendasar, pemikiran yang pragmatik, kritis, praktis, dialogis, membuat barang D.I.Y dan semua yang tujuannya membangun lah menciptakan kultur produktif. Ingin berusaha menjadi profesional, bukan sekedar "kelihatan" profesional. (meski nantinya hanya akan menjadi utopia karena sesungguhnya kita hanya konsumen ngehe yang cuman bisa beli dan bawel, bukan produsen). Pada akhirnya, pengetahuan dasar inilah yang akan membuat kita tenang dalam menghadapi apapun. (terutama jika dimintai tolong untuk mengisi sebuah seminar)

Ingat, memotret dengan nampak "keren" bukan berarti akan mendapatkan foto yang bisa dinilai "keren". Definisi "keren" sendiri juga semakin absurd, sama seperti kata "seni" yang kini mengaret maknanya entah kemana juntrungnya. Dimanfaatkan oleh kapitalis pula pada akhirnya. Seperti kita-kita yang masih tejebak dalam situasi ini mungkin perlu mulai mawas diri agar tidak lantas semakin terjerumus ke dalam definisi-definisi yang absurd tersebut. Tidak secara fisik melainkan pemikiran.

Jadi apa tujuansebenarnya merekam sesuatu? Mendapatkan pahala atau mencari sorga? Mengais ketenaran di media sosial? Mau menciptakan gambar yang mampu menjatuhkan suatu rezim? Atau sekedar mendokumentasikan acara nikahan dengan maksud menjadi pengingat pasangan tersebut kalau kawinan mereka mahal jadi akhirnya mereka enggan bercerai? Pada akhirnya kamera terbaik adalah kamera yang kalian miliki dan pergunakan untuk apapun yang kalian yakini harus diperjuangkan dalam hidup. Bermerk, maupun tak bermerk dalam fase ketika kalian menganut keyakinan apapun dalam hidup. Beli saja kamera apapun sesuai dompetmu, ciptakan karyamu dan yang paling penting, jujur dan bergembiralah. Karena selain hal-hal itu, what's the point of all this photographing and videographing shit beside to find yourself and having fun?


Sumber 1; https://paradekata.wordpress.com/2014/01/14/budaya-tandingan-counterculture-dan-konsumerisme-2/

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...