INDUSTRI KREATIF YANG KERING KESADARAN

Tahun 2016 adalah awal tahun yang penuh spekulasi, khususnya karena MEA telah mulai dilaksanakan awal tahun ini. Tantangan besar menunggu ma...

Tahun 2016 adalah awal tahun yang penuh spekulasi, khususnya karena MEA telah mulai dilaksanakan awal tahun ini. Tantangan besar menunggu masyarakat Indonesia dan khususnya para profesional dalam bidang jasa kreatif seperti media terutama untuk bidang dokumentasi yang tidak memiliki standar kompetensi yang jelas seperti pengusaha atau penjual jasa video dokumentasi seperti saya dan banyak teman-teman saya lakukan untuk hidup. Mungkin tulisan kali ini akan sedikit panjang dan membosankan daripada tulisan saya lainnya (lagipula tulisan saya memang membosankan semua) karena saya mencoba mendalami masalah dan mencarikan alternatif solusi yang sebenarnya sudah banyak orang tahu, namun tidak banyak yang mulai melakukannya.

Masalah ini diawali oleh kemajuan teknologi beberapa tahun ini yang membuat proses dokumentasi menjadi sangat mudah dan murah untuk dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Produsen dan developer berlomba-lomba membuat kamera dan berbagai perangkat lunak pendukung yang mudah digunakan dan murah (agar laku tentunya) namun mampu menghasilkan karya video dengan kualitas yang tidak kalah dengan kamera dan videografer profesional pada umumnya.

Faktanya, menjadi semakin mudah bagi setiap orang untuk membuka jasa dokumentasi, dan menjadi videografer dan editor. Bahkan orang awam bisa belajar dari internet dan melakukannya sendiri dan bisa jadi hasilnya semakin mendekati bahkan seringkali melebihi buatan para profesional sekalipun. Persaingan kerja yang sudah ada menjadi semakin rumit karena persaingan muncul tidak hanya dari para sesama profesional maupun amatir, namun juga para konsumen juga, yang notabene dimudahkan oleh teknologi media yang membuat dokumentasi menjadi sangat murah dan mudah untuk dilakukan.

TUGAS RUMAH YANG BELUM SELESAI

Di sisi lain, laporan-laporan dan isu tentang masih banyaknya praktik 'perang harga' yang tidak sehat di kalangan para penjual jasa dokumentasi sendiri masih santer beredar. Misal seringkali terdengar bahwa menjadi hal tabu menyebutkan harga secara terbuka karena takut harganya 'disaingi' oleh produsen lain, dan sebagainya. Perang harga ini sesungguhnya adalah proses yang alamiah dalam pasar bebas, dan merupakan implikasi dari pertemuan antara permintaan dan penawaran yang terjadi dalam masyarakat.

Harga yang murah dan kualitas yang bersaing di satu sisi memang memudahkan dan memanjakan kantong konsumen, namun yang harus menjadi catatan adalah adanya kontrol dan kesadaran para pegiat usaha. Menjadi masalah ketika parameter yang digunakan hanya berfokus pada harga, tanpa mempertimbangkan standar jasa yang diberikan berikut kontribusi kepada industri. Akhirnya, tidak hanya konsumen lagi yang dirugikan, melainkan para penyedia jasa juga. Misalkan, munculnya persepsi masyarakat yang menilai bahwa dokumentasi hanyalah pekerjaan yang 'murahan'.

Belum lagi selesai satu masalah muncul masalah lainnya. Perbaikan ekonomi nasional dan percepatan pembangunan ekonomi (salah satunya ditandai dengan munculnya kementerian industri kreatif) yang berimbas pada makin tumbuhnya permintaan masyarakat akan jasa dokumentasi, membuat profesi jasa dokumentasi ini menjadi peluang kerja yang mudah untuk dilakukan. Cukuplah akses internet digunakan untuk media belajar, kemudian pengadaan kamera dan komputer yang semakin murah harganya berimbas pada  makin menjamurnya dokumentasi fotografi dan video di Indonesia. Kultur pembajakan perangkat lunak dan minimnya perlindungan hak cipta yang sudah mengakar dalam membuat proses ini menjadi semakin mudah.

Sayangnya pertumbuhan ini sepertinya tidak dibarengi dengan kedewaasaan dalam berindustri, dan mengakibatkan persaingan dagang berjalan tanpa memiliki aturan main yang jelas. Dan, benar saja, yang tidak kita miliki adalah aturan main dan keinginan untuk membawa industri yang kita geluti ini ke level yang lebih relevan, yakni; persaingan sehat persaingan yang bermanfaat.

Persaingan sehat dalam kacamata saya adalah persaingan yang terukur dan berparameter. Seperti organisasai keprofesian yang lain, dalam rangka meningkatkan 'kehormatan' mereka, tiap profesi kemudian memiliki acuan standar mutu pelayanan yang mereka buat sebagai parameter penilaian akan kualitas dan kompetensi tiap-tiap anggotanya. Untuk menciptakan standar mutu tersebut, semua anggota harus tergabung dalam satuan organisasi keprofesian. Iya, organisasasi! Berkumpul dan berserikat merupakan langkah awal yang baik untuk menciptakan kehormatan ini.

Mari tengok Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berikut perserikatan keprofesian lainnya yang lebih dahulu muncul. Persatuan memiliki etika profesi sebagai acuan kerja yang mapan dan harus menjadi standar dalam kegiatan apapun yang menyangkut keprofesian mereka. Keprofesian membedakan diri dari amatir. Tidak melulu harus serius dan terpatok pada profesi-profesi yang sudah ada, bahkan petani pun bisa membuat organisasi profesi seperti ini apabila mereka mau (dan harusnya juga sudah dimulai). Mungkin masih ada yang mempertanyakan tentang profesi dan apa saja jenis pekerjaan yang layak menjadi profesi.

PROFESIONAL VS AMATIR?

Apa itu profesional? Apakah videografer atau editor profesional lebih baik daripada videografer atau editor amatir? Sebelum menjawab kedua pertanyaan itu, mari kita lihat dulu definisi masing-masing konsep tersebut. Pada dasarnya, perbedaan utama kedua konsep tersebut adalah pada hal TUJUANNYA. Tujuan Profesional lebih pada mendapatkan profit atau penghasilan. Menjadikan keahliannya sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian. Sedangkan amatir, lebih pada melakukannya karena gemar atau memperoleh kesenangan atas apa yang dilakukan, dan memenuhi kepuasan diri. Namun, apakah karya amatir tidak bisa dijual layaknya profesional?

Batasan inilah yang seringkali menjadi masalah. Penggunaan kata amatir-profesional kadang membias pada hal yang tidak pada esensinya. Apalagi jika menyinggung hal yang berbau konten atau yang biasa disebut KREATIFITAS. Kualitas karya BUKAN lah ukuran dan TIDAK BISA dijadikan ukuran/parameter seseorang menjadi profesional atau amatir. Namun lebih pada STANDAR DAN SISTEM KERJA yang digunakan.

Mulai dari tingkat kompetensi atau pendidikan, jenis peralatan baik perangkat keras dan perangkat lunak yang dipakai, dan STANDAR PROSEDUR OPERASI yang dimiliki bahkan landasan norma dan hukum yang telah disepakati. saya tekankan sekali lagi, BUKAN pada kualitas karya yang biasanya disebut KREATIFITAS, melainkan pada STANDAR KERJA nya. Jadi, sebelum dilanjutkan, mari terlebih dahulu menempatkan konsep pada konteksnya masing-masing.

Kualitas karya atau kreatifitas masing-masing orang berada pada ranah pembahasan lain dalam tulisan ini. Seperti banyak organisasi profesi lainnya, kualitas karya dinilai melalui mekanisme penghargaan, kritik, eksibisi maupun kompetisi. Penghargaan dan kompetisi akan menciptakan nilai tambah tersendiri bagi pegiat profesi, namun yang lebih penting di atas itu semua adalah adanya landasan yang paling dasar yakni etika dan standar kerja. Kreatifitas adalah masalah yang bersifat apresiatif karena sifatnya memang tidak terbatas dan tidak bisa diukur melalui satu macam ukuran. Namun, pemenuhan etika dan standar kerja akan lebih relevan untuk dijadikan dasar patokan seorang praktisi memang berjalan di jalur profesional atau tidak.

DILEMA STANDARISASI INDUSTRI KREATIF

Tidak jarang, kata kreatif mengacu pada hal yang tidak memiliki batasan yang jelas, dan ini seringkali menjadi polemik dalam hal pendefinisiannya. Seperti yang terjadi di industri kreatif, batasnnya menjadi tidak jelas seiring terlalu luasnya batasan industri kreatif itu sendiri. Namun, hal ini harus segera dipecahkan agar masyarakt tahu bahwa industi kreatif tidak hanya dianggap memiliki kontribusi terhadap perekonomian nasional, baik skala mikro maupun besar. Tapi juga, agar pemerintah bisa secara langsung memusatkan perhatian program-program kerjanya secara tepat tujuan pad industi kreatif yang kini makin bermunculan yang sudah ada.

Pemerintah sesungguhnya sudah mencanangkan fondasi dalam menciptakan prosedur standar kerja dalam masing-masing bidang usaha yang ditandai dengan adanya SIUPP. Namun, saya (dan mungkin rekan-rekan seprofesi lainnya) sebagai warga Indonesia yang prihatin dengan prosedur pengurusan yang njelimet nan ruwet para oknum Pegawai Negeri Sipil pasti setuju dan tidak ambil pusing dengan mendaftarkan diri untuk mendapatan SIUPP. Belum lagi hal ini berimbas pada pekerjaan lain yang kebanyakan orang merasa tidak mau ambil pusing seperti mekaisme perhitungan pajak dan sebagainya. Paling mentok, SIUPP baru dibuat ketika membutuhkan pinjaman modal usaha dari bank. Jadinya, sangat masuk akal jika memang ini menjadi hal yang sangat tidak populer untuk dikerjakan.

Padahal di dalam pengurusan SIUPP harus terdapat bukti laporan keuangan, jenis bidang usaha, pegawai, NPWP, dll yang notabene adalah salah satu cara mengukur standar kompetensi perusahaan di tiap daerah. Jika terlaksana dengan baik, maka harusnya ini akan menjadi kumpulan data yang bermanfaat bagi pemerintah ini untuk menjadi tolok dalam mengukur perkembangan bidang jasa kreatif di negeri ini, dan untuk dasar pengambilan keputusan nantinya. Jadi, mohon maklum jika kementerian ekonomi kreatif dinilai lama kerjanya, karena mereka tidak mempunyai data yang valid tentang ini. Membuat keputusan tanpa data valid bisa berakibat malapetaka. Bisa jadi kini mereka harus mengumpulkan data dari awal lagi tentang kondisi ekonomi kreatif di seluruh Indonesia sebelum memutuskan program apa yang akan mereka buat.

MARI MENJADI KREATIF

Sebagai seseorang yang memutuskan untuk berkecimpung di bidang industri kreatif, harusnya langkah awal yang ditempuh adalah memiliki pemikiran yang jauh lebih terbuka. Apa yang kita lakukan sebagai seorang kreator tidak hanya sejauh mencari pelanggan dan pundi-pundi penghasilan. Bagi saya, seseorang dikatakan sebagai profesional, tidak hidup sebatas pada ranah komersial, tapi juga sosial dan berbagai dimensi lain sebagai seorang manusia dan masyarakat (society).

Profesional yang sesungguhnya memiliki kesadaran penuh untuk berkontribusi terhadap industri dan terhadap profesinya. Tidak ada salahnya, justru merupakan anjuran bagi setiap profesional untuk ikut serta memajukan industri dimana dia hidup, karena pada akhirnya, kemajuan industri merupakan awal kemajuan para profesional di dalamnya. Waktu 24 jam sehari masih terlalu lama jika dihabisakan sekedar untuk mencari uang, karena banyak hal yang jauh lebih penting dari penghasilan. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...