Rejeki (Editor) Sudah Ada Yang Ngatur!

Ritual menyeruput kopi pagi seketika berubah menjadi acara riset mendalam setelah melihat sebaris teks tadi pagi di sebuah linimasa profesi ...

Ritual menyeruput kopi pagi seketika berubah menjadi acara riset mendalam setelah melihat sebaris teks tadi pagi di sebuah linimasa profesi video editor di salah satu sosial media yang mengungkapkan kekesalan akibat dugaan kesenjangan kesejahteraan yang dialami oleh profesi editor video terhadap profesi lain di bidang yang sama. Tidak hanya para penyunting gambar (video editor), beberapa grup lain seperti juru gambar (designer), penata laman (layouter) dan penyunting foto (editor foto) seringkali merasakan kekhawatiran yang sama. Selain kesenjangan kesejahteraan, disinggung juga tentang masih rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi yang mereka miliki, utamanya di Indonesia.

Sebagai seorang pengamat, saya menganggap ungkapan kekesalan tersebut masih sebatas dugaan karena sesungguhnya diperlukan riset dan survey mendalam untuk mengukur keabsahannya dan membuat dugaan tersebut menjadi sebuah argumen yang bertanggung jawab. Namun, karena saya juga memiliki akses di dunia industri yang sama, dan merasakan apa yang banyak teman saya rasakan sebagai editor video, saya juga memiliki dugaan atau dalam bahasa ilmiah; hipotesis yang sama dengan mereka tentang kesenjangan yang tengah mereka alami. Karena kinipun saya juga masih sering mengalaminya.

Dalam produksi industri skala menengah dan kecil, editor seringkali masih dianggap sekedar penjaga gawang. Karena banyak tim produksi yang masih kurang pengalaman dan kesopanan menganggap semua kesalahan produksi bisa diperbaiki di pasca produksi. Selain itu, dalam pandangan masyarakat kemajuan teknologi yang mereka citrakan dalam dunia editing membuat editor dianggap sebagai pesulap, karena ditangannya, shot hasil produksi yang buruk akibat kurang perencanaan seakan bisa disulap menjadi baik. Dua pernyataan tersebut adalah dugaan sinis saya pribadi, bukan argumen mendalam dengan riset dan data valid. Pernyataan yang saya dasarkan oleh pengalaman pribadi selama berkarir di dunia produksi video selama hampir 8 tahun. 

PEKERJAAN RUMAH BAGI SEMUA PROFESI

Saya memiliki sahabat seorang dokter dan kami sering berdiskusi mengenai banyak hal, salah satunya tentang isu-isu keprofesian. Tulisan saya tentang miskomunikasi medis adalah salah satu hasil diskusi yang kami lakukan. Dari beliau saya belajar banyak hal terutama mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia medis dan segala seluk beluk profesi kedokteran yang tidak banyak orang tahu. Selain itu, beberapa kali saya mendapatkan akses dan informasi untuk masuk dan berinteraksi langsung di rumah-rumah sakit dan berbagai kegiatan dalam organisasi profesi kedokteran tersebut. 

Informasi-informasi itu saya kumpulkan untuk kemudian saya analogikan dan pelajari sebagai bahan perbandingan dengan profesi-profesi lain yang salah satunya adalah profesi videografi yang saya geluti. Satu hal paling penting yang saya pelajari dari profesi kedokteran ini adalah bahwa meningkatkan derajat keprofesian tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan perkumpulan yang terorganisir dan terpimpin dengan baik, berserikat dan memiliki tujuan yang jelas untuk keprofesiannya, tidak hanya sekedar berkumpul. Visi misi dan tujuannya jelas; untuk meningkatkan derajat dan profesionalisme para anggotanya. Tidak hanya di bidang editing, hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi semua jenis profesi. 

Di negara demokrasi, organisasi keprofesian ini menjadi sangat diperlukan. Karena melalui sebuah organisasi keprofesian sebuah profesi bisa dinilai dan diukur tingkat profesionalisme-nya, paling tidak secara kuantitatif. Karena di dalamnya mutlak harus memiliki sebuah standar keprofesian yang jelas dan terukur. Selain ukuran, juga memiliki kode etik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua anggotanya. Hal ini memungkinkan selain sebagi wadah, juga sebagai media kontrol yang progresif.

Pada akhirnya, organisasi keprofesian selain bertujuan untuk meningkatkan daya saing anggotanya agar diakui dan dihormati, juga dalam pandangan masyarakat, bisa dijadikan sebagai sumber rujukan informasi dan edukasi yang obyektif dan valid. Manfaat lainnya adalah semakin mudahnya akses informasi dan untuk menciptakan kepastian hukum yang jelas.  Jadi, tidak hanya bermanfaat bagi sesama anggota profesi, tapi juga masyarakat secara umum.

KESENJANGAN GENGSI DAN KESENJANGAN PIKIR

Kalau mau jujur, permasalahan utama yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini bukanlah terletak pada fenomena kesenjangannya, melainkan pada cara berpikir dan sudut pandang kita sendiri terhadap profesi ini. Banyak orang lebih terjebak pada masalah ketimbang bertindak menciptakan solusi. Sering kali mereka beralasan, karena tidak memiliki pilihan dan pasrah dengan kondisi yang ada. Bisa jadi, dugaan atas pemikiran negatif tentang profesi editor yang muncul di masyarakat adalah buah dari pikiran negatif kita sendiri terhadap profesi yang kita geluti. 

Selama masih banyak editor yang terjebak pada jargon pasrah, nrimo, rejeki sudah ada yang ngatur, maka profesi editor tidak akan pernah maju. Cepat atau lambat kondisi ini berubah semua tergantung pada kesadaran dan kedewasaan cara berpikir dan bertindak. Padahal, editing bukanlah sekedar masalah skill-software-hardware dan uang, tapi bisa menjadi sesuatu yang lebih ketika kita menambahkan hal lain, misal personal branding-taste-cara berpikir-komunikasi-edukasi-rekreasi dan banyak hal lain selain hal-hal yang bisa dikuantifikasi, profesi editing akan memiliki makna yang lebih. 

Memutuskan untuk menjadi bagian dari profesi adalah hal kecil yang banyak orang tidak ingin lakukan karena banyak alasan. Padahal, dampaknya bisa jadi akan sangat signifikan. Toh, siapa lagi yang akan memajukan profesi editor kalau bukan para editor sendiri? (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...