Kesenjangan Pikir atau Kemalasan Kolektif?

Banjir informasi dan teknologi terjadi akibat runtuhnya batas-batas jarak dan waktu, bahkan batas politis dan budaya sebagai dampak dari sem...

Banjir informasi dan teknologi terjadi akibat runtuhnya batas-batas jarak dan waktu, bahkan batas politis dan budaya sebagai dampak dari semakin mudahnya akses distribusi dan jaringan informasi. Alhasil, inovasi teknologi di wilayah tertentu bisa segera dinikmati manfaatnya di penjuru dunia lain.
Namun, seringkali, inovasi teknologi dalam sebuah wilayah tertentu tidak serta-merta bisa mengatasi masalah di wilayah lain, dimana terkadang wilayah tersebut memiliki kondisi sosial budaya yang jauh berbeda dimana teknologi tersebut ditemukan. Kesenjangan yang saya maksud di sini bukanlah sebuah fenomena industrial yang merupakan implikasi dari masyarakat industri modern, namun lebih kepada sifat kedunguan dan kemalasan berpikir dari kebanyakan masyarakat penikmat teknologi yang seringkali_akibat banyak hal_tergesa-gesa dalam beradaptasi.

Hubungan teknologi, budaya, dan manusia pada umumnya (dan seharusnya) bersifat interaktif dialektik, dan simbiotik. Namun kini, di lingkungan saya hidup, justru sering terlihat seperti hubungan pragmatis bahkan tidak jarang_paradoks. Seperti halnya budaya, teknologi membentuk dan mempengaruhi manusia dan cara berpikirnya, begitupun manusia kemudian menciptakan teknologi dan memengaruhi cara kerja teknologi tersebut. Hal ini juga bekerja dengan bentukan budaya sinema dan teknologi audio visual yang tumbuh dalam masyarakat. Karena pemahaman dan penguasaan teknologi adalah basis dari aplikasi berbagi produk audio visual yang ada di maskarakat. Sayangnya, kenyataan berkata lain.


Bahasa Pasar dan Ekspektasi Konsumen

Pernah beberapa klien saya menanyakan apakah dalam vendor saya menyediakan teknologi 4K untuk mendokumentasikan acara pernikahan mereka? Saya tidak mempermasalahkan pertanyaan klien saya tersbut dan berusaha memojokannya ke golongan yang malas membaca, tapi lebih kepada tentang bagaimana besarnya implikasi dari bahasa pemasaran yang  digunakan produsen-produsen kamera mengenai teknologi sinema terhadap pola pemikiran konsumen dan masyarakat awam, salah satunya adalah klien saya ini.

Memang sekarang secara sekilas, teknologi 4K sudah merambah pasar rumahan, namun pengaplikasiannya tidak sesederhana itu. Tidak hanya bagi orang-orang umum yang awam dengan teknologi video, kita yang setiap hari bekerja di bidang produksi video-pun, menganggap teknologi 4K sebagai semacam "urban legend". Namun dengan teknologi sekarang seolah-olah dengan mudahnya kualitas 4K bisa di dapat dengan menggunakan kamera konsumer. Muncul beberapa tipe kamera yang menjual bahasa 4K di dusbox-nya. Seolah-olah video 4K sekarang adalah barang yang tidak mewah lagi. Tapi apakah permasalahnnya akan sesederhana itu? Apakah video yang ditangkap kamera ini tidak perlu diolah dan diedit? apakah setelah diedit video tersebut tidak perlu ditayangkan kemudian databasenya disimpan untuk diedit kemudian? tahukah seberapa besar kapasitas video 4K? intinya sih, tidak sesederhana itu bukan?

Pada dasarnya yang kita inginkan adalah pemahaman sederhana dan keliru seperti ini tidak muncul pada sebagian besar konsumen awam, namun kenyataan berkata lain. Bahasa pemasaran yang memaparkan informasi dengan cara sepenggal-penggal justru membuat konsumen menjadi dibingungkan. Di sisi lain, konsumen awam di negeri ini yang memiliki kecenderungan malas untuk mendalami informasi dengan menggali data dan memferivikasi cenderung menelan mentah-mentah informasi sepenggal-sepenggal ini dan mengamininya menjadi sebuah fakta tunggal yang tidak lengkap. Alhasil, munculah kecarut-marutan istilah ini.

Saya tidak akan melangkah terlalu jauh hingga berusaha memojokkan masyarakat awam untuk mencapai apa yang disebut tahap kedewasaan dalam bermedia dan berteknologi, bahkan sekedar menghargai apa yang kita lakukan. Namun, sekedar menyentuh ranah ekspresi sosial praktis yang bersifat remeh-temeh dan permukaan saja dan terjadi di ruang-ruang penerima tamu dan khususnya yang saya alami sehari-hari. Tapi sesungguhnya, ekspresi sosial remeh-temeh ini justru seringkali mampu menggambarkan tingkat kedewasaan berpikir masyarakat awam kita tentang perlakuan terhadap teknologi dan media...

Pada dasarnya, teknologi 4K yang saya sebutkan diatas hanyalah sebagian yang sangat kecil dari banyak peristiwa kesalah-pahaman informasi yang didapatkan khalayak umum vs profesi teknis, khususnya videografi, yang seharusnya kita tahu beberapa informasi tertentu tentang teknologi videografi tidak dapat ditelan mentah-mentah. Beberapa masalah populer antara lain (menurut pengalam saya sendiri saja); harga jasa tertentu yang membutuhkan teknologi tertentu yang seringkali dianggap semuanya sama saja, jenis kamera yang seringkali dianggap sama atau bahkan dianggap satu lebih bagus daripada yang lainnya dengan menghilangkan faktor seberapa ahli orang yang mengoperasikan kamera, seolah-olah kamera bagus hasilnya pasti bagus entah siapa yang mengoperasikan.

Kecarut-marutan pada bagian pasca produksi juga tidak kalah seru, mulai dari kecepatan proses pasca produksi yang dianggap sama saja, meski bentuk produksinya dan teknologinya berbeda jenis, visual effect ala hollywood kontra teknologi kita yang masih bollywood, dan banyak hal yang saya yakin, profesi videografi memliki pengalaman yang jauh lebih unik dan menarik lainnya. Selain itu, saya yakin tidak hanya dalam bidang videografi saja, tapi juga berbagai profesi lain yang membutuhkan keahlian teknis yang produknya dijual oleh produsen pemasar yang pola pemasarannya cenderung ke arah umum atau segmentasi luas.

Solusi?

Sebagai orang yang bekerja di bidang videografi, dan mengukuhkan diri menjadikannya sebagai profesi mencari penghidupan sehari-hari, sudah seharusnya yang kita lakukan adalah menertawakan kekonyolan ini, hahahahah.... dan kemudian memberikan aksi berupa edukasi kepada masyarakat awam terhadap informasi apapun yang menjadi keahlian kita, salah satunya adalah masalah kebingunan informasi antara bahasa pemasaran dan bahasa teknis. Meluangkan sedikit waktu mengedukasi tidak akan mengurangi waktu kerja kita dan justru akan lebih membawa manfaat yang pada akhirnya mengangkat derajat profesionalisme profesi videografer itu sendiri.

Namun, kegiatan mengedukasi tidak akan menjadi sederhana dan menyenangkan lagi ketika kita sendiri menjadi salah seorang yang malas belajar dan mempelajari teknologi yang baru di bidang yang kita geluti sendiri. Ketika profesi yang lain berusaha semakin lama semakin ketat, berjuang meningkatkan mutunya dengan mengharuskan anggota nya mengikuti berbagai seminar, workshop, demi meningkatkan mutu standar kompetensi yang dibuat oleh lembaga yang menaungi mereka. Profesi videografi, dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat, yang harus dilakukan jelas bukan justru bermalas-malasan, leyeh-leyeh ngopi ngerokok sembari berkubang di lumpur zona nyaman pekerjaan harian dan bayaran, sembari membiarkan orang lain yang 'mikir' tentang ini.

Meluangkan waktu sedikit saja untuk berkumpul bersilaturahmi, terus belajar dan terus belajar tidak akan membuat kita menjadi miskin, justru ilmu adalah investasi terbaik dengan jangka waktu kadaluarsa yang sangat panjang (sampai kita pikun atau mati). Jadi, mari membuka diri terhadap perubahan agar kita (dan klien-klien kita) tidak terhanyut hilang dalam banjir informasi dan teknologi tidak sudah tidak terbendung ini, dan jangan lupa untuk membagikannya, ya. It's a free country!. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...