Ironi Sabun Mandi

Percayakah Anda, jika sabun pernah menjadi penyebab utama puluhan warga suku pedalaman di Papua meninggal? Sekilas pernyataan tersebut nampa...

Percayakah Anda, jika sabun pernah menjadi penyebab utama puluhan warga suku pedalaman di Papua meninggal? Sekilas pernyataan tersebut nampak tidak masuk akal, namun demikianlah kesimpulan yang diambil dari salah satu anekdot seorang peneliti dari Manchester University asal Indonesia dalam suatu kuliah umum di kampus Universitas Sebelas Maret yang pernah saya ikuti beberapa waktu lalu.

Mungkin sebagian dari kita mengira bahwa kronologis pernyataan tersebut diawali oleh ketidaktahuan masyarakat suku pedalaman Papua terhadap teknologi sabun (dan yang kali pertama terpikirkan, mungkin saja mereka memakan sabun atau menyalah gunakan pemakaiannya dan kemudian meninggal). Atau ini hanyalah judul provokatif dari web sampah yang dibuat sekedar untuk menarik hits atau klik sebanyak-banyaknya. 

Jawaban sebenarnya sangat sederhana, sesuai dengan topik kesenjangan teknologi dan kebudayaan. Penyebabnya tidak terlalu jauh dari kesenjangan pengetahuan, namun sedikit lebih kompleks, yakni sabun sebagai simbol budaya mandi.

Seperti diketahui, bahwa masyarakat suku pedalaman Papua selama ratusan (mungkin ribuan) tahun tidak mengenal istilah mandi menggunakan sabun. Budaya mandi diperkenalkan ketika pemerataan pembangunan memasuki kawasan mereka. Konsep sehat dan higienis dalam pandangan masyarakat modern dan beradab hendak diterapkan pada komunitas yang kebanyakan pihak menganggap sebagai primitif dan terbelakang ini. Namun, meskipun sekilas mandi adalah urusan sepele, tanpa adanya kajian yang dalam mengenai dampak budaya dari teknologi baru tersebut, aktifitas ini berbuah malapetaka.

Faktanya, teknologi sabun menyebabkan masyarakat Papua bertambah sering terserang Malaria. Getah pohon Lemo & Jelutong yang sehari-hari mereka oleskan di tubuh sebagai penghalau nyamuk malaria malah tergantikan oleh sabun mandi yang justru menyebabkan nyamuk malaria dengan mudah menyebarkan penyakit. Kondisi sosial dan lingkungan tertentu tidak serta merta memungkinkan sebuah teknologi baru dari luar diterapkan. Diperlukan kajian mendalam terlebih dahulu atas dampak yang mungkin terjadi ketika sebuah teknologi diterapkan dalam level lingkungan hidup dan lingkungan sosial yang jauh berbeda dimana teknologi tersebut ditemukan.

Banjir Teknologi, Kering Kajian

Menurut Anda, siapakah pihak yang berwenang melakukan kajian-kajian yang diperlukan teknologi baru diterapkan di masyarakat? Kemenristek? Institusi-institusi pendidikan tinggi? Pengusaha-pengusaha? atau bahkan masyarakat sendiri yang berhak menilainya?

Membahas wacana teknologi_dengan asumsi seluruh kajian mengacu pada konsep pendidikan modern ala barat_ menyebutkan bahwa teknologi bukanlah konsep lepas dan hampa sosial karena tercipta dalam sebuah kondisi sosial budaya nyata dalam sebuah kondisi baik lingkungan hidup maupun sosial tertentu. Singkatnya, penemuan teknologi atau "invention" selalu linear dengan kebutuhan masyarakat dimana teknologi itu ditemukan atau "needs". Dalam istilah purba, teknologi adalah perpanjangan tangan dari manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

Namun, kondisi kini dimana kebutuhan primer sudah semakin terpenuhi, ditambah urutan kebutuhan yang tidak sama dalam kondisi budaya yang berbeda, mengakibatkan teknologi tidak serta merta mutlak dapat diaplikasikan pada semua manusia di seluruh dunia. Konsep yang lalu menyadarkan beberapa pihak tentang eratnya hubungan kebudayaan dan kebutuhan ini tidak banyak diaplikasikan di negara kita.

Seuruh masyarakat Indonesia adalah konsumen dari semua teknologi yang diberi ijin oleh negara untuk diaplikasikan dan diperjualbelikan secara bebas saat ini. Namun seiring dengan semakin masifnya kebutuhan negara akan perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi, lantas segera saja melupakan aspek lain, salah satunya adalah memilah teknologi apakah yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat? apakah dampak teknologi tertentu pada kehidupan berbangsa dan bernegara? Bukan tentang mengikuti euforia kemajuan teknologi yang telampau pesat ini.

Para pemilik modal dan importir juga tak mau kehilangan momentum dengan meningkatkan promosi teknologi tertentu dan mengambil keuntungan dari berbagai penjualan yang dilakukannya. Sekali lagi, tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkannya. Di sinilah lingkaran setan dimulai. Seperti ketika beberapa waktu lalu, muncul berita tentang penentangan terhadap ojek online dan segala penyedia jasa transportasi umum yang berbasis aplikasi yang terjadi secara anarkis, karena dianggap berpotensi melumpuhkan sistem yang sudah ada atau biasa disebut sistem konvensional. 

Toh, saat teknologi diterima dan dinyatakan sebagai bagian dari kehidupan normal manusia dalam lingkungan sosoial budaya tertentu, maka teknologi tersebut akan secara otomatis dilabeli konvensional. 

Dalam sebuah adegan film tentang kiamat, "2012" ada sedikit pernyataan menyindir ketika Presiden Amerika Serikat dalam film itu menolak untuk dievakuasi, dia mengatakan pada bawahannya bahwa "seorang ilmuwan muda sepertimu jauh lebih berharga daripada 10 orang politisi tua seperti saya". Secara tidak langsung, saya sependapat dengan pernyataan itu, terlebih di Indonesia, dimana para cendekia yang memiliki potensi ilmu pengetahuan dan keahlian masih banyak yang belum mendapat kesempatan dan penghargaan di negeri sendiri bertahan dengan segala upaya mennggu saat-saat dimana terjadi perubahan yang notabene tidak kunjung datang.

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...