Pursuing Happiness = Pursuing Believeness

Jika hidup merupakan rangkaian keputusan-keputusan, maka setiap keputusan yang kita ambil selalu memiliki sebab mengapa kita memutuskan...



Jika hidup merupakan rangkaian keputusan-keputusan, maka setiap keputusan yang kita ambil selalu memiliki sebab mengapa kita memutuskan demikian atau tidak memutuskan demikian. Sifat menusia ini tergambar dalam sebuah teori psikologi modern yang dikembangkan Edward Thorndike pada 1905 dengan meneliti huungan S (Stimulus) & R (Respon) yang dinamai teori Behavioral "law of effect". Teori ini didefinisikan sebagai “responses that produce a satisfying effect in a particular situation become more likely to occur again in that situation, and responses that produce a discomforting effect become less likely to occur again in that situation" (Gray, Peter. p. 109) atau secara sederhana dapat kita maknai sebagai kecenderungan untuk mengulangi sesuatu yang dapat membuat kita merasa bahagia (happines/bahagia). 

Lebih lanjut, berdasarkan angapan beberapa pakar neurologi seperti Manfred Davidman dan Dr. Suzanne LaCombe, yang menyatakan terdapat reptilian brain atau triune brain dalam buku The Triune Brain in Evolution yakni otak paling primitif mamalia yang membuat uji coba Stimulus-Respon Thorndike pada seekor kucing seakan dianggap relevan terhadap manusia. Hal ini karena otak bagian ini merupakan bagian yang paling dianggap paling berpengaruh dalam menentukan pilihan manusia yang cenderung biner (iya/tidak, hadapi/lari). Dan, memang rasa senang atau tidak senang tersebut, sadar atau tidak sadar, menjadi landasan dalam setiap apapun yang menjadi keputusan untuk hidup kita.

Namun, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai Psikologi, Neurologi dan semacamnya. Fokus yang akan saya tekankan adalah pada definisi "kebahagiaan". Kata kebahagiaan (happines) ini secara konsep tidak akan sekedar saya samakan dengan senang/ceria (happy) atau menyenangkan (fun) atau segala sesuatu yang membuat kita sekedar tertawa. Lebih khusus, bahagia adalah sebuah sikap mental positif yang membuat kita merasa tenteram, selamat, aman dan nyaman. Ketika orang filsafat dan para teolog masih berkutat pada perdebatan menganai mana yang benar dan yang salah, saya memilih untuk melihat dari sudut pandang lain, yakni dampak dari hal-hal yang dianggap benar dan dianggap salah terhadap manusia. 


Definisi benar dan salah yang sangat subyektif ini membuat penilaian setiap orang berbeda tergantung dalam kerangka berpikir apa yang mendasarinya. Namun apapun kerangka berpikirnya, yang pasti manusia akan merasa bahagia bila melakukan sesuatu yang (dianggap) benar, dan merasa tidak bahagia jika melakukan sesuatu yang (dianggap) salah. Oleh karena itu, kebahagiaan merupakan reaksi (rerponse) dari sebuah aksi (stimulus).

Manfaatnya?
Andai kebahagiaan dapat diukur, harusnya hasil yang didapat akan relevan dengan tingkat keyakinan/kebenaran kita terhadap sesuatu. Intinya, tes kebahagiaan adalah tes tingkat keyakinan. Orang yang yakin telah melakukan sesuatu yang benar akan memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dari yang tidak terlalu yakin. Sayangnya, kesenangan bukan materi fisik yang dapat diukur dengan mudah melalui satuan. Jadi, memang, tulisan tentang kebahagiaan ini sulit untuk mencapai konklusi. Namun, tulisan semacam ini akan bermanfaat bagi orang-orang yang sedang mencari kebahagiaan_atau dengan membalik logika_orang-orang yang sedang mencari keyakinan. (yes)

You Might Also Like

0 comments

Mari bertukar pikiran...